Category: Budaya

Pembuatan Keris: Modernisasi Tak Kalahkan Keris Karya Empu

KARANGANYAR – Di Desa Wonosari RT 1 RW 3, Kecamatan Gondangrejo, terdapat Padepokan dan Museum Keris Brojobuwono. Di tempat ini, Basuki Teguh Yuwono, sang empu memimpin padepokan. Terbilang masih muda, namun kiprah lajang kelahiran Karanganyar, 36 tahun lalu itu, tak bisa diukur hanya dengan sebelah mata.

PEMBUATAN KERIS : Proses pembuatan keris di Padepokan Brojobuwono.

Butuh waktu lebih dari sepuluh tahun, bergulat dengan keadaan, sehingga bisa dipercaya sebagai seorang pemangku museum keris. Meski awalnya sempat mendapat banyak tantangan dan kerap dicibir, alumnus ISI Solo jurusan Seni Rupa ini tak patah arang.
“Saya jawab saja cibiran itu dengan karya. Karena hanya karya nyatalah, yang bisa menunjukkan kualitas dan kemampuan diri kita,” papar pria yang masih terhitung keturunan empu keris kenamaan, Empu Jaya Supo dan Empu Singo Wijaya ini.
Meski kini namanya mulai diperhitungkan dalam dunia perkerisan, Basuki Teguh Yuwono tak berhenti berkarya. Berbagai jenis keris baik yang bersifat klasik, maupun kontemporer masih saja terlahir dari tempaan tangannya. Bahkan dirinya  bereksperimen dengan membuat bilah keris, dengan bahan dasar lahar Merapi yang diberinya nama Kyai Naga Minulya.
“Keris Naga Minulya ini memang sengaja saya bikin mewah dengan kualitas garapan terbaik. Meski ditawar dengan harga berapa pun, tidak akan saya jual karena keris ini saya persembahkan bagi peradaban baru perkerisan nusantara,” tegasnya.(ara)

Musik Tradisional: Lesung Lestarikan Budaya Lokal

KARANGANYAR – Beberapa kesenian tradisional yang berada di beberapa desa di Kecamatan Matesih, Karanganyar terus dilestarikan. Selain karawitan, musik lesung juga masih digalakkan. Lesung yang biasa untuk menumbuk padi pada masa lalu, memang mengeluarkan suara yang enak bila dimainkan secara harmoni.

LESTARIKAN BUDAYA : Paguyuban kelompok musik lesung yang masih banyak di Matesih.

Ketua Paguyuban Lesung Nusantara Sri Murni Pujiastuti mengungkapkan, sejumlah kelompok musik lesung memang berkembang baik di wilayah Matesih. Kelompok musik lesung memang mayoritas dimainkan ibu-ibu. Mereka awalnya untuk menumbuk padi.
“Namun karena perkembangan zaman, banyaknya pengilingan padi, saat ini kita tinggal melestarikan irama yang dihasilkan dari lesung tersebut,” papar Sri Murni.
Menurut dia, saat ini kelompok musik lesung banyak tumbuh dikalangan perempuan pedesaan. Berdirinya kelompok tersebut, untuk melestarikan atau nguri-uri seni musik lesung, khususnya di Matesih.
Secara pasti, gerakan para ibu di desa patut diacungi jempol. Selain itu, di tengah aliran musik, mereka masih tetap bertahan pada musik tradisional Jawa. (ara)

Ritual Mondosiyo Berharap Kemakmuran Terhindar Petaka

Salah satu prosesi upacar Mondosiyo si Pancot, Tawangmangu. Foto:ara

KARANGANYAR – Sebuah tradisi ritual untuk mendapatkan hasil panen yang berlimpah dilakukan warga Dusun Pancot, Desa Blumbang, Tawangmangu, Karanganyar dengan upacara adat Mondosiyo. Pedesaan yang berada di lereng Gunung Lawu ini, masih melestarikan tradisi leluhur mereka setiap hari Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih yang jatuh pada wuku Mondosiyo.
Upacara ini dilakukan masyarakat suku jawa asli Dusun Pancot, dimana selain berdoa mendapatkan kemakmuran dan panen yang berlimpah, tradisi turun-temurun ini juga memperingati kemenangan masyarakat adat. Dimana mereka telah berhasil mengalahkan dan menghancurkan perilaku kekejian dan kebiadaban nafsu sang Prabubaka, titah raksasa pemakan manusia. Wujudnya melalui doa adat yang dipanjatkan, dan sesaji tradisi yang dipersembahkan masyarakat dan semua peserta upacara adat Mondosiyo. “Tujuannya agar lolos dari malapetaka serta terbebas dari “sukerta”, bahkan memperoleh kedamaian dan kemakmuran serta kemudahan hidup bersama dalam masyarakat secara terus menerus,” tutur Ngatmin, salah satu warga Pancot yang masih ikut tradisi tersebut.
Tata Upacara ini dimulai pada hari Minggu Pon. Dua hari sebelum puncak Upacara Mondosiyo berlangsung, msyarakat setempat mengumpulkan beras untuk diolah atau dimasak secara tradisiona ,menjadi makanan yang disebut “gandhik”, serta aneka makanan khusus lainnya sebagai perlengkapan “sesaji tradisional”. Di samping itu, secara gotong royong masyarakat setempat membeli seekor kambing dan sejumlah ayam kampung sebagai “sesaji pokok”.
Hari berikutnya Senin Wage, keseluruhan perlengkapan “sesaji tradisi” dan berbagai “busana tradisi” ditempatkan atau disanggarkan di rumah sesepuh adat.
Pada pukul 7 malam (malam Selasa Kliwon), beberapa orang perangkat adat menabuh “bende” mengelilingi tempat-tempat yang dianggap keramat, sebagai pemberitahuan akan diselenggarakan upacara adat Mondosiyo, dengan harapan agar para danyang hadir serta merestui perhelatan tersebut. Selanjutnya menjelang tengah malam diadakan tirakatan dan renungan sesuai adat setempat.
Tepat Selasa Kliwon merupakan Puncak Upacara Adat Mondosiyo, pagi hari para sesepuh adat dan tokoh masyarakat membawa seekor kambing kendit dan ayam ke punden Bakpatokan untuk disembelih sebagai sesaji.Kemudian sesaji itu disiapkan di punden Bakpatokan. Ditengah prosesi upacara itu, diperdengarkan “gendhing Manyar Sewu”.
Upacara Mondosiyo dilangsungkan dengan dipimpin oleh sesepuh adat.Pada puncak acara ini diperebutkan ayam hidup, serta penyiraman “air badheg” bagi masyarakat atau pengunjung.
“Bagi yang dapat atau bisa menangkap ayam akan mendapat keberuntungan,” jelas Ngatmin. (ara)

Siapkan Nyepi, Umat Hindu Laksanakan Tawur Agung

Umat Hindu melaksanakan Tawur Agung di Kemuning, Karanganyar. Foto: Ara

KARANGANYAR – Sehari sebelum Nyepi, umat Hindu di Desa Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso melakukan Tawur Agung Kesanga di Pura Tunggal Ika, Senin (11/3). Tujuannya, membersihkan pura yang akan digunakan untuk ibadah Nyepi, Selasa (12/3).

Doa kepada Sang Hyang Widhi itu dipimpin tiga pinditia. Di depan mereka serangkaian sesaji yang terdiri dari ayam, telur, kembang, buah-buahan, jajanan pasar hingga beberapa lembaran uang. Setelah lonceng kentongan dibunyikan, mereka pun mengelilingi komplek Pura Tunggal Ika sebanyak tiga kali. Rangkain sesaji di atas nampan yang dibawa oleh setiap umat tersebut lalu ditaruh di sebuah sudut di Pura. Untuk memuncaki rangkaian ritual, seluruh umat kemudian melanjutkan ritual suci ke dalam Pura Tunggal Ika.

Otoritas Pura Tunggal Ika Priyanto menuturkan model rangkaian ibadah yang digelar di Pura Tunggal Ika kali ini secara umum memang berbeda dengan yang biasa digelar di Bali. Di mana ritual yang digelar di Bali saat ini adalah Upacara Tawur Agung Kasanga. “Tetapi itu tidak apa-apa, selama prinsip dan tujuannya tetap sama. Sesuai ajaran dalam Kitab Wedha, rangkaian ajaran itu bisa dilakukan sesuai dengan desa, kala dan patra,” jelasnya.

Adapun serangkaian peribadatan yang digelar di Pura Tunggal Ika kali ini biasa disebut dengan Wisuda Bumi. Ritual ini pun merupakan salah satu rangkaian dalam memperingati Hari Raya Nyepi. Tujuannya untuk menyelaraskan diri dengan alam semesta. “Agar para dewa memberkatiPura dan umat selama menjalankan ibadah Nyepi besok (hari ini, Red),” tuturnya.

Sebagaimana ritual yang pertama kali dilakukan, seluruh umat diajak berdoa di pelataran ketiga pura. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan diri dengan guta yatna atau dunia paling bawah. Setelah seluruh rangkaian ritual selesai, para paninditia pun membungkuskan air suci untuk dibawa pulang oleh seluruh umat. “Air itu digunakan untuk ritual serupa di rumah masing-masing umat. Agar semua area yang digunakan untuk nyepi besok terbebas dari segala hal yang tidak suci. Sebab besok seluruh umat Hindu akan mengamalkan catur brata. Artinya, mereka tidak melakukan pekerjaan, tidak menyalakan api, tidak bepergian dan tidak bersenang-senang,” pungkasnya. (Ara)

Bangun Museum Keris, Butuh Lebih Rp10 M

SOLO – Pemkot Solo memperkirakan anggaran Rp10 miliar yang dikucurkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak akan cukup untuk menyelesaikan pembangunan Museum Keris. Bahkan, diprediksi dana sebesar itu hanya cukup untuk membiayai pembangunan tahap pertama.

Kepala Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) Solo, Ahyani mengatakan, rencana pembangunan Museum Keris tahap pertama akan selesai akhir tahun ini. Dalam pembangunan tahap pertama akan difokuskan pada pembuatan konstruksi, struktur bangunan dan penataan taman.

“Kalau melihat prosesnya saat ini untuk tahap pertama kemungkinan akan selesai pertengahan tahun. Tapi itu baru tahap pertama, bukan 100%. Sebab, anggarannya hanya cukup untuk pembangunan tahap pertama,” jelasya, Rabu (13/2).

Ia menambahkan, proses pembangunan kemungkinan bisa dilaksanakan setelah penyusunan Detail Engineering Design (DED) rampung. Lelang DED senilai Rp100 juta direncanakan bulan ini. Sedangkan untuk lelang proyek akan dilakukan pada April mendatang.

“Materi penyusunan DED merupakan evaluasi rancangan awal pembangunan yang sebelumnya diusulkan senilai Rp35 miliar. Namun oleh Kemendikbud, permohonan itu hanya disetujui Rp10 miliar. Akibatnya kuantitas bangunan terpaksa dipangkas.

Pemkot sangat optimistis proyek pembangunan museum keris selesai sesuai target. Namun Pemkot perlu menjajaki kembali bantuan pemerintah pusat guna pendanaan proyek di tahap kedua. Menurt Ahyani, dana pendampingan dari lanjutan pembangunan museum, Kemendikbud mengarah pada standarisasi internasional Museum Keris. Hal itu meliputi desain ruang pertemuan berkapasitas ribuan tamu, estetika bangunan dan fasilitas di ruang pameran.

Ahyani menambahkan,  lokasi pembangunan museum keris dibatasi lahan Hak Pakai (HP) pemkot no 26 seluas satu hektare (Ha) di Kawasan Taman Sriwedari. Proyek itu sekaligus merevitalisasi bangunan eks RS Jiwa Mangunjayan yang terdapat di HP 26. Sayangnya ekspansi ke area di sekitarnya terhalang sengketa lahan Sriwedari antara ahli waris Wiryodiningrat dengan pemkot. Meski begitu, lahan sengketa tercantum dalam kawasan heritage dengan peruntukan ruang publik, yang terintegrasi museum keris.

“Kalau untuk pembangunan tahap kedua akan dilanjutkan di tahun depan dengan membangun bagian display desain berstandard internasional. Itupun kalau anggarannya turun,” katanya.

Sementara itu Kabid Cagar Budaya DTRK Mufti Raharjo menambahkan, dalam pembangunan Museum Keris desain bangunan museum mutlak berstandar internasional. Untuk itulah tahap pertama proyek museum keris dipilah berupa konstruksi dan struktur selanjutnya tahap kedua berupa perwajahan. “Bangunan ini bukan bangunan biasa sehingga jika nantinya kurang anggaran tidak masalah,” katanya. (Ahmad)

Atraksi Barongsai di Bawah Sinar Mentari

SOLO – Teriknya sinar matahari pagi tak menyurutkan semangat siswa-siswi SD Warga Solo yang tengah memainkan atraksi Barongsai menyambut datangnya tahun ular air. Perayaan tahun baru Imlek memang sudah menjadi agenda rutin di SD yang mayoritas siswanya berasal etnis Cina tersebut. Adapun tujuan dari digelarnya kegiatan ini adalah untuk menanamkan pendidikan karakter kepada para siswa. Yakni dengan saling toleransi antar umat beragama yang ada di kota Bengawan ini.

“Perayaan ini tidak sekedar sebagai simbol peringatan akan tetapi memiliki makna yang terselip dalam perayaan ini. Seperti halnya saling menghormati dan menghargai antar umat beragama, disiplin dan saling rukun mencintai sesama,” ungkap Kepala sekolah SD Warga L.Sulistyowati, kepada waratwan di sela-sela acara Barongsai dan Atraksi Murid dalam rangka menyambut imlek 2564 di SD Warga Solo, Rabu(6/2).

Selain itu, pihaknya juga selalu berupaya untuk menanamkan 18 karakter bangsa semisal religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan dan cinta tanah air kepada para siswa. “Sebanyak 550 siswa di sini memiliki latar belakang dan agama yang berbeda seperti agama Katolik, Kristen, Islam dan Konghucu,” jelas Sulistyowati.

Dengan diselenggarakannya perayaan tersebut,  Sulistyowati berharap bisa memberikan manfaat bagi siswa bagaimana menghormati budaya suku lain yang ada di Indonesia serta mempertebal rasa persatuan dan kesatuan.

Sementara itu, salah satu siswa Kelas III SD Warga, Ingrid Josepin, mengaku senang bisa berpartisipasi dalam memeriahkan perayaan tahun baru Imlek. Meski ia penganut agama Katolik namun ia juga ikut mengenakan baju khas China Cheongsam berwarna merah dan ikut serta dalam tarian kipas tarian khas dari negara tirai bambu itu. “Senang bisa ikut merayakan hari raya agama lain, jadi kita bisa lebih menghargai perbedaan,” jelasnya. (Rini)